MERINDUKAN
PEMIMPIN DAERAH YANG BERINTEGRITAS
Oleh Fathor Rachman (Utsman)*
Momentum pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) seretak pada bulan Februari 2017 dan Pertengahan Tahun 2018 akan
kembali bergulir. Ritual politik 5 tahunan di berbagai daerah ini tentu akan
menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat karena pelaksanaannya cukup
melelahkan. Tetapi, dibalik kelelahan itu, mereka berharap akan terbayar dengan
terpilihnya kepala daerah yang mampu merealisasikan visi, misi dan janji-janji
politiknya serta menjamin keberlangsungan hidup masyarakat yang adil, makmur
dan sejahtera selama 5 tahun ke depan.
Harapan tersebut, bukan
tanpa alasan rasional, sebab masyarakat cukup lama mendapatkan perlakukan
kebijakan kurang menguntungkan dari kepala daerah terpilih. Janji peningkatan
kesejahteraan, penyediaan lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan murah, APBD
untuk rakyat, tidak ada pungutan liar dan semacamnya adalah segelintir janji
manis para politisi (kontestan Pilkada). Nyaris semua janji-janjinya OK alias
Omong Kosong (OK). Hingga muncul anekdot menggelikan di tengah-tengah
masyarakat tentang bedanya “Pilkada” dengan “Pil-KB”: kalau Pil-KB, jika
lupa (minum) akan “jadi”. Kalau Pilkada, jika jadi akan lupa.
Untuk itu, menghadapi
Pilkada serentak 2017 dan 2018 nanti, masyarakat masih berharap munculnya
pemimpin baru yang dapat bekerja dengan komitmen yang tinggi untuk menciptakan pemerintahan
daerah yang bersih (clean government), jujur dan berwibawa demi kebaikan
masyarakat. Sebab, esensi dari kepemimpinan itu adalah sebuah tindakan (kinerja), leadership
is an action, not a position.
Berkaitan dengan sikap
itulah, maka pemimpin terpilih, dituntut untuk berani melakukan berbagai macam
tindakan perubahan dan secara konsisten melaksanakannya dengan komitmen tinggi
dalam bentuk kinerja nyata, hanya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya,
komitmen tinggi tanpa dibuktikan dengan konsistensi tindakan nyata, hanya akan
menjadi janji-janji semu penuh ilusi. Itulah yang sering dikatakan oleh Stephen Covey (2004) bahwa “making
and keeping promises to ourselves precede making and sleeping promises to
others”.
Hubungannya dengan Pilkada,
maka daerah yang menjadi kekuasaannya harus dipandang sebagai sebuah organisasi
kemasyarakatan yang hidup, di mana di dalamnya mengandung elemen bangsa yang
harus diberi tindakan dan kebijakan nyata, supaya masyarakat merasakan langsung
perubahan nyata kepala daerah terpilih. Untuk itu, pemimpin daerah seharusnya
punya komitmen untuk menyusun serangkaian kebijakan dalam bentuk “perilaku-perilaku
populis”, bukan “perilaku-perilaku politis” yang hanya merendam kepentingan segelintir
orang dan kelompok tertentu demi melanggengkan jabatan (kekuasaan).
Perilaku
populis berkaitan dengan komitmen bersama seluruh pejabat daerah yang dipimpinnya
untuk menciptakan budaya bersih, perilaku jujur dan pelayanan optimal pada
masyarakat di lingkungan birokrasinya. Sementara perilaku politis
identik dengan sikap dan perilaku pejabat untuk memanfaatkan posisi politik dan
jabatan birokrasinya meraih keuntungan pribadi, memperkaya diri dan melakukan
berbagai bentuk pemerasan struktural. Ujung-ujungnya, tawar menawar posisi dan
jabatan, sogok menyogok, budaya korupsi dan segala macam tindakan yang
menguntungkan pribadi masih sering terjadi di berbagai daerah dengan
memanfaatkan jabatan birokrasi. Inilah ”korupsi politik” yang marak terjadi di
lingkungan birokrasi pemerintahan daerah maupun pusat kata Bapak Artidjo
Alkostar (Hakim Agung RI).
Untuk itu, pemimpin daerah
harus berani memisahkan kepemimpinan dari segala hal di luar wilayahnya,
seperti pangkat, jabatan, kedudukan dan sebagainya. Kepemimpinan adalah sikap,
tindakan, komitmen, perilaku, kebiasaan dan katakter yang muncul secara
internal dalam diri seseorag. Itulah pemimpin yang berintegritas. Sosok
pemimpin yang dengan kekuasannya berani bertindak tegas, jujur dan tidak mau
kompromi terhadap berbagai macam tindakan dan perilaku yang akan merugikan
masyarakat, tanpa harus resah akan kehilangan jabatannya. Ingatlah bahwa pangkat,
jabatan dan kedudukan itu hanyalah pseudo leadership (kepemimpinan semu),
sementara keadaan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan berkeadilan
itulah the real leadership.
Sudah saatnya, kepala daerah terpilih merenungkan
pernyataan Bapak Bangsa kita, Kasman Singodimedjo dan H. Agus Salim, bahwa leiden
is lijden (memimpin adalah menderita), menderita karena memperjuangkan
nasib masyarakat, menderita karena rakyatnya masih banyak yang miskin dan kelaparan.
Bukan menderita karena pejabat birokrasinya banyak yang tidak beres, partai
politik pengusungnya sedang dirundung masalah korupsi, dan pusing mencari
kebijakan politik yang aman.
Masyarakat dan bangsa ini
bukannya tidak memiliki sosok pemimpin seperti itu. Hanya saja, situasi politik
bangsa kita lebih senang memilih pemimpin yang bisa diajak kompromi dari pada
memilih pemimpin yang berani. Untuk itu, kekuatan esensial yang biasanya
dimiliki kepala berupa position power dan
personal power sebaiknya dijadikan modal utama untuk bertindak melakukan
perubahan-perubahan besar melalui kebijakan yang mencerahkan masyarakat. Itulah pemimpin berintegrias yang
sedang dirindukan masyarakat. Bukan pemimpin karbitan yang hanya menjadi simbol
politik kepemimpin yang semu dan “the law of harvest”. Pemimpin seperti itu
tidak akan pernah langgeng. Kejatuhannya hanyalah masalah bom waktu!.
*Fathor Rachman (Utsman) adalah Dosen Fakultas Tarbiyah INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, tinggal di Pademawu Pamekasan
*Fathor Rachman (Utsman) adalah Dosen Fakultas Tarbiyah INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, tinggal di Pademawu Pamekasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar