Selasa, 07 November 2017

Kepemimpinan




MERINDUKAN PEMIMPIN DAERAH YANG BERINTEGRITAS
Oleh Fathor Rachman (Utsman)*


Momentum pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seretak pada bulan Februari 2017 dan Pertengahan Tahun 2018 akan kembali bergulir. Ritual politik 5 tahunan di berbagai daerah ini tentu akan menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat karena pelaksanaannya cukup melelahkan. Tetapi, dibalik kelelahan itu, mereka berharap akan terbayar dengan terpilihnya kepala daerah yang mampu merealisasikan visi, misi dan janji-janji politiknya serta menjamin keberlangsungan hidup masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera selama 5 tahun ke depan.

Harapan tersebut, bukan tanpa alasan rasional, sebab masyarakat cukup lama mendapatkan perlakukan kebijakan kurang menguntungkan dari kepala daerah terpilih. Janji peningkatan kesejahteraan, penyediaan lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan murah, APBD untuk rakyat, tidak ada pungutan liar dan semacamnya adalah segelintir janji manis para politisi (kontestan Pilkada). Nyaris semua janji-janjinya OK alias Omong Kosong (OK). Hingga muncul anekdot menggelikan di tengah-tengah masyarakat tentang bedanya “Pilkada” dengan “Pil-KB”: kalau Pil-KB, jika lupa (minum) akan “jadi”. Kalau Pilkada, jika jadi akan lupa.
Untuk itu, menghadapi Pilkada serentak 2017 dan 2018 nanti, masyarakat masih berharap munculnya pemimpin baru yang dapat bekerja dengan komitmen yang tinggi untuk menciptakan pemerintahan daerah yang bersih (clean government), jujur dan berwibawa demi kebaikan masyarakat. Sebab, esensi dari kepemimpinan itu adalah sebuah tindakan (kinerja), leadership is an action, not a position.
Berkaitan dengan sikap itulah, maka pemimpin terpilih, dituntut untuk berani melakukan berbagai macam tindakan perubahan dan secara konsisten melaksanakannya dengan komitmen tinggi dalam bentuk kinerja nyata, hanya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, komitmen tinggi tanpa dibuktikan dengan konsistensi tindakan nyata, hanya akan menjadi janji-janji semu penuh ilusi. Itulah yang sering dikatakan oleh Stephen Covey (2004) bahwa “making and keeping promises to ourselves precede making and sleeping promises to others”.
Hubungannya dengan Pilkada, maka daerah yang menjadi kekuasaannya harus dipandang sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan yang hidup, di mana di dalamnya mengandung elemen bangsa yang harus diberi tindakan dan kebijakan nyata, supaya masyarakat merasakan langsung perubahan nyata kepala daerah terpilih. Untuk itu, pemimpin daerah seharusnya punya komitmen untuk menyusun serangkaian kebijakan dalam bentuk “perilaku-perilaku populis”, bukan “perilaku-perilaku politis” yang hanya merendam kepentingan segelintir orang dan kelompok tertentu demi melanggengkan jabatan (kekuasaan).
Perilaku populis berkaitan dengan komitmen bersama seluruh pejabat daerah yang dipimpinnya untuk menciptakan budaya bersih, perilaku jujur dan pelayanan optimal pada masyarakat di lingkungan birokrasinya. Sementara perilaku politis identik dengan sikap dan perilaku pejabat untuk memanfaatkan posisi politik dan jabatan birokrasinya meraih keuntungan pribadi, memperkaya diri dan melakukan berbagai bentuk pemerasan struktural. Ujung-ujungnya, tawar menawar posisi dan jabatan, sogok menyogok, budaya korupsi dan segala macam tindakan yang menguntungkan pribadi masih sering terjadi di berbagai daerah dengan memanfaatkan jabatan birokrasi. Inilah ”korupsi politik” yang marak terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah maupun pusat kata Bapak Artidjo Alkostar (Hakim Agung RI). 
Untuk itu, pemimpin daerah harus berani memisahkan kepemimpinan dari segala hal di luar wilayahnya, seperti pangkat, jabatan, kedudukan dan sebagainya. Kepemimpinan adalah sikap, tindakan, komitmen, perilaku, kebiasaan dan katakter yang muncul secara internal dalam diri seseorag. Itulah pemimpin yang berintegritas. Sosok pemimpin yang dengan kekuasannya berani bertindak tegas, jujur dan tidak mau kompromi terhadap berbagai macam tindakan dan perilaku yang akan merugikan masyarakat, tanpa harus resah akan kehilangan jabatannya. Ingatlah bahwa pangkat, jabatan dan kedudukan itu hanyalah pseudo leadership (kepemimpinan semu), sementara keadaan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan berkeadilan itulah the real leadership.
Sudah saatnya, kepala daerah terpilih merenungkan pernyataan Bapak Bangsa kita, Kasman Singodimedjo dan H. Agus Salim, bahwa leiden is lijden (memimpin adalah menderita), menderita karena memperjuangkan nasib masyarakat, menderita karena rakyatnya masih banyak yang miskin dan kelaparan. Bukan menderita karena pejabat birokrasinya banyak yang tidak beres, partai politik pengusungnya sedang dirundung masalah korupsi, dan pusing mencari kebijakan politik yang aman.
Masyarakat dan bangsa ini bukannya tidak memiliki sosok pemimpin seperti itu. Hanya saja, situasi politik bangsa kita lebih senang memilih pemimpin yang bisa diajak kompromi dari pada memilih pemimpin yang berani. Untuk itu, kekuatan esensial yang biasanya dimiliki kepala berupa position power dan personal power sebaiknya dijadikan modal utama untuk bertindak melakukan perubahan-perubahan besar melalui kebijakan yang mencerahkan masyarakat. Itulah pemimpin berintegrias yang sedang dirindukan masyarakat. Bukan pemimpin karbitan yang hanya menjadi simbol politik kepemimpin yang semu dan “the law of harvest”. Pemimpin seperti itu tidak akan pernah langgeng. Kejatuhannya hanyalah masalah bom waktu!. 

*Fathor Rachman (Utsman) adalah Dosen Fakultas Tarbiyah INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep, tinggal di Pademawu Pamekasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM Oleh Fathor Rachman Corporate culture (budaya kerja korpora...