MASA DEPAN ILMU-ILMU KEISLAMAN
Oleh Fathor Rachman, M.Pd.*
Lemahnya eksistensi dan prospek ilmu-ilmu keislaman
dan institusi pendidikan Islam dibanding ilmu-ilmu umum dan lembaga pendidikan sekuler
merupakan titik klimaks dari pemahaman masyarakat Islam yang cenderung dikotomik.
Hal ini terjadi karena masih kuatnya anggapan masyarakat luas bahwa antara
”ilmu-ilmu agama (Islam)” dan ”ilmu-ilmu umum (sekuler)” merupakan dua entitas
yang sulit dipertemukan. Keduanya terpisah dan mempunyai wilayah
sendiri-sendiri, mulai dari segi objek formal, materi, sistem, metode hingga
pada institusi penyelenggaranya.
Itulah sebuah gambaran aktivitas keilmuan yang
telah lama mengakar kuat dalam kehidupan, khususnya umat Islam di tanah air,
hingga berakibat pada praktek pendidikan yang berkembang luas di tengah-tengah
kehidupan masyarakat dengan segala implikasi negatif yang ditimbulkannya.
Akibatnya, perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu umum sebagai simbol
keberhasilan lembaga pendidikan sekuler telah banyak tercerabut dari
nilai-nilai moral dan etika keagamaan.
Sementara di pihak lain, pertumbuhan dan
perkembangan lembaga pendidikan Islam yang lebih menekankan pada ilmu-ilmu
keagamaan secara formal-normatif, telah mengalami masa stagnasi (kemunduran)
yang berdampak pada sulitnya melahirkan tenaga-tenaga terampil yang memiliki life
skill yang tinggi dan mumpuni. Akhirnya, dikotomi keilmuan di atas telah
mengalami perkembangan yang kurang sehat dan berdampak pada perkembangan
pemikiran keilmuan dan praktek pendidikan, kehidupan sosial, budaya, ekonomi,
politik dan sistem keagamaan.
Mengakhiri Dikotomi dan Pengembangan Epistemologi
Keilmuan
Gambaran realitas keilmuan di atas, dalam
perjalanannya telah mengalami semacam ”titik kejenuhan’ yang tampak pada
eksistensi lembaga pendidikan umum (dengan ilmu-ilmu sekuler yang
dikembangkannya) dan eksistensi lembaga pendidikan Islam (dengan ilmu-ilmu keagamaan
yang dipertahankannya) telah mulai terjangkit krisis relevansi keilmuan karena
banyak mengalami kebuntuan dalam upaya memecahkan persoalan kemanusian yang
terus berubah seiring dengan perkembangan kehidupan, terutama ketika dihadapkan
pada isu-isu modernisai, globalisasi dan industrialiasi.
Hal ini bisa dibuktikan dari banyaknya ilmuwan-ilmuwan
sekuler yang mengalami kekeringan spiritual yang berdampak pada pola kehidupan
mereka yang cenderung kaku, kasar, kurang peka sosial dan jauh dari integritas
moral, malah banyak para intelektual yang bejat dan tidak bermoral. Di sisi
lain, para ilmuwan muslim (ahli agama) juga mengalami kebuntuan ketika
dihadapkan para realitas sosial yang terjadi ketika menuntut adanya penguasaan
yang tinggi tehadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan kecakapan hidup
(life skill).
Inilah problem keilmuan yang sedang terjadi dan masih
berkembang dalam praktek pemikiran dan kehidupan saat ini. Untuk itu,
diperlukan adanya upaya-upaya penyadaran untuk segera mengembalikan akar
keilmuaan pada jalan dan substansi yang sebenarnya. Kalau tidak, maka pola
keilmuan dikotomik di atas akan terus berjalan dan sulit menemukan solusi
alternatif dalam upaya pengembangan keilmuan di masa depan.
Setidaknya ada beberapa tawaran kongkrit dalam
upaya pengembangan keilmuan Islam di masa depan. Pertama, diperlukan
adanya penyadaran pemahaman bahwa semua ilmu (baik ilmu-ilmu sekuler maupun
ilmu-ilmu agama) itu berasal, berakar dan bersumber dari Allah Swt. yang
dimanifestasikan dalam Islam, sehingga tidak akan tampak kembali bahwa
ilmu-ilmu Islam itu hanyalah berkisar pada ilmu-ilmu agama an sich,
sementara ilmu-ilmu sekuler adalah ilmu-ilmu modern seperti Matematika, Biologi,
Fisika, Kimia, Teknologi Informasi dan sejenisnya). Untuk itu, istilah ilmu Fardhu
’Ain (ilmu-ilmu agama) yang meliputi; (al-Qur’an, syari’at, sunnah
(hadits), figh, teologi (ilmu kalam), metafisika Islam, bahasa Arab dan
semacamnya) dan istilah ilmu-ilmu Fardhu Kifayah, meliputi: (ilmu alam,
ilmu terapan, teknologi, kebudayaan Barat, filsafat, linguistik dan semacamnya)
yang biasa digunakan dalam praktek pendidikan dan pengembangan kurikulum
pendidikan harus segera dihilangkan.
Harus segera ditekankan penyadaran bahwa semua
ilmu itu adalah ilmu Islam dan bersumber dari Tuhan. Inilah Etika Tauhidik
-meminjam istilahnya Prof. Amin Abdullah- sebagai epistemologi-fundamental
pengembangan ilmu-ilmu Islam di masa depan.
Sebab, dengan Etika Tauhidik maka alam jagad raya yang banyak menyimpan
misteri harus digali dan dikuasai agar bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan. Menguasai
alam berari menguasai hukum alam dan segala dinamika yang ditimbulkannya. Maka dengan
sendirinya manusia akan menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan
berdasarkan hukum alam dengan peran manusia sebagai Khalifah Fil-Ardh (wakil
Allah di muka bumi).
Kedua, seiring dengan masih melekatnya dikotomi
keilmuan, maka diupayakan adanya suatu gerakan-gerakan konsep (pemikiran) dan
praktek dalam bentuk integrasi epistemologi dan ontologi keilmuan, yang
di dalamnya ada upaya untuk menyatukan berbagai macam keilmuan seperti yang
telah dicontohkan para ilmuwan muslim pada masa-masa kejayaan Islam, seperti
al-Khawarizmi, Umar al-Khayam, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan semacamnya. Tidak
seperti tokoh-tokoh agama atau ulama’ (ilmuwan muslim) sekarang yang terlalu
mengembangkan keilmuan Islam yang spesifik-parsialistik, dengan hanya menjadi
ahli Hadits, ahli Fiqh, dan sebagainya tanpa ada upaya-upaya pemikiran ulang terhadap
keahliannya.
Dengan seperti itu, ilmu-ilmu Islam akan
mendapatkan peluang untuk berkembang dan berjaya lagi di masa-masa yang akan
datang. Disamping ada upaya juga untuk melakukan pola integrasi aksiologi
keilmuan. Untuk itu, manusia (baca: umat Islam) yang hendak menyingkap rahasia
Allah melalui tanda-tanda-Nya berupa alam jagad raya menggunakan perangkat
berupa ilmu fisik; seperti ilmu Fisika, Kimia, Geografi, Geologi, dan Astronomi.
Sedangkan yang hendak menyingkap rahasia
Allah melalui tanda-tanda-Nya berupa manusia, akan memunculkan berbagai ilmu
juga. Dari sisi fisik melahirkan ilmu Biologi dan Kedokteran, dari aspek psikis
manusia memunculkan ilmu Psikololgi, dan apabila dikaji secara kelompok, maka akan
melahirkan Sosiologi, Antropologi, Ekologi, Hukum, Sejarah dan semacamnya.
Sementara yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-tanda-Nya berupa
wahyu, muncul Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Tafsir, Fiqih, Ilmu Kalam dan semacamnya.
Begitulah seterusnya hingga Islam akan menemukan kembali ’tempat asalnya’ yang
telah lama ditinggal oleh umat Islamnya sendiri.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya
tantangan di era globalisasi dan industrialisasi yang menuntut respons cepat
dan tepat dari sistem pendidikan, maka sebagai langkah ketiga, umat
Islam dituntut tidak hanya sekedar survive di tengah-tengah persaingan
global, tetapi harus tampil dengan orientasi pemikiran yang konstruktif dan
transformatif dalam kerangka mengembangkan sistem pendidikan (terutama sistem
Pendidikan Tinggi) dengan tidak hanya menyuguhkan fakultas-fakulatas agama,
tetapi harus siap dan mampu menyediakan fakultas-fakultas umum dengan corak
epistemologi keilmuan yang mampu mengkombinasikan antara nilai- normatif keagamaan
yang terintegralisasikan dalam format integreted curriculum (harmonisasi
antara keilmuan Islam dengan keilmuan sekuler) dalam sistem pembelajaran yang
akademik dan terarah.
Pentingnya Evaluasi Kritis
Pola pengembangan keilmuan yang
integralistik tersebut tentu harus dilandasi moralitas keagamaan yang
humanistik dan progresifistik, sehingga bisa masuk dan menyentuh pada semua
disiplin keilmuan secara luas, seperti matematika, fisika teknologi dan
sejenisnya. Hal ini penting dalam rangka memberikan landasan moral Islam
terhadap pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan tidak
boleh dipandang secara terpisah karena memiliki basis ontologi yang sama.
Hanya saja yang perlu dikaji ulang adalah
luasnya cakupan dan wilayah ilmu-ilmu Islam itu sendiri yang sebagian di
antaranya sudah tidak relevan lagi dikembangkan pada masa kini. Karena itu,
diperlukan evaluasi yang kritis-konstruktif terhadap bagian-bagian dari
ilmu-ilmu keislaman yang layak dan masih relevan dikembangkan, dan bagian mana
yang sudah seharusnya dimonumenkan menjadi sejarah keilmuan.
Langkah penyatuan paradigma keilmuan di
atas merupakan tugas kita semua, khususnya dalam penyelenggaran pendidikan dan praktek
pengembangan keilmuan Islam. Untuk itu, diperlukan tindakan korektif-evaluatif
terhadap pengembangan keilmuan dan praktek pendidikan yang selama ini berjalan.
Tentu saja perubahan dan pengembangan ini membutuhkan konsep yang matang dan format
integrasi keilmuan yang detail dan terarah agar tidak sekedar menjadi konsep
tanpa aplikasi yang jelas.
Jika langkah-langkah di atas terlaksana
dengan baik, maka ilmu pengetahuan Islam akan menjadi sesuatu yang menarik
untuk dipelajari dan dikaji oleh siapapun. Pada gilirannya, dualisme dikotomik
pendidikan yang tampaknya sulit dihilangkan tersebut akan mudah diluruskan
karena pada hakekatnya memang tidak sesuai dengan hakikat keilmuan Islam.
Semoga!.
--(@)--
*Penulis Berdomisili di: Desa Dasok Pademawu Pamekasan 69381. Aktif sebagai
Peneliti masalah-masalah Pendidikan dan Dosen di INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep