Jumat, 12 Agustus 2016

MASA DEPAN ILMU-ILMU KEISLAMAN



MASA DEPAN ILMU-ILMU KEISLAMAN

Oleh Fathor Rachman, M.Pd.*

Lemahnya eksistensi dan prospek ilmu-ilmu keislaman dan institusi pendidikan Islam dibanding ilmu-ilmu umum dan lembaga pendidikan sekuler merupakan titik klimaks dari pemahaman masyarakat Islam yang cenderung dikotomik. Hal ini terjadi karena masih kuatnya anggapan masyarakat luas bahwa antara ”ilmu-ilmu agama (Islam)” dan ”ilmu-ilmu umum (sekuler)” merupakan dua entitas yang sulit dipertemukan. Keduanya terpisah dan mempunyai wilayah sendiri-sendiri, mulai dari segi objek formal, materi, sistem, metode hingga pada institusi penyelenggaranya.
Itulah sebuah gambaran aktivitas keilmuan yang telah lama mengakar kuat dalam kehidupan, khususnya umat Islam di tanah air, hingga berakibat pada praktek pendidikan yang berkembang luas di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan segala implikasi negatif yang ditimbulkannya. Akibatnya, perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu umum sebagai simbol keberhasilan lembaga pendidikan sekuler telah banyak tercerabut dari nilai-nilai moral dan etika keagamaan.
Sementara di pihak lain, pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam yang lebih menekankan pada ilmu-ilmu keagamaan secara formal-normatif, telah mengalami masa stagnasi (kemunduran) yang berdampak pada sulitnya melahirkan tenaga-tenaga terampil yang memiliki life skill yang tinggi dan mumpuni. Akhirnya, dikotomi keilmuan di atas telah mengalami perkembangan yang kurang sehat dan berdampak pada perkembangan pemikiran keilmuan dan praktek pendidikan, kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan sistem keagamaan.

Mengakhiri Dikotomi dan Pengembangan Epistemologi Keilmuan
Gambaran realitas keilmuan di atas, dalam perjalanannya telah mengalami semacam ”titik kejenuhan’ yang tampak pada eksistensi lembaga pendidikan umum (dengan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkannya) dan eksistensi lembaga pendidikan Islam (dengan ilmu-ilmu keagamaan yang dipertahankannya) telah mulai terjangkit krisis relevansi keilmuan karena banyak mengalami kebuntuan dalam upaya memecahkan persoalan kemanusian yang terus berubah seiring dengan perkembangan kehidupan, terutama ketika dihadapkan pada isu-isu modernisai, globalisasi dan industrialiasi.
Hal ini bisa dibuktikan dari banyaknya ilmuwan-ilmuwan sekuler yang mengalami kekeringan spiritual yang berdampak pada pola kehidupan mereka yang cenderung kaku, kasar, kurang peka sosial dan jauh dari integritas moral, malah banyak para intelektual yang bejat dan tidak bermoral. Di sisi lain, para ilmuwan muslim (ahli agama) juga mengalami kebuntuan ketika dihadapkan para realitas sosial yang terjadi ketika menuntut adanya penguasaan yang tinggi tehadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan kecakapan hidup (life skill).
Inilah problem keilmuan yang sedang terjadi dan masih berkembang dalam praktek pemikiran dan kehidupan saat ini. Untuk itu, diperlukan adanya upaya-upaya penyadaran untuk segera mengembalikan akar keilmuaan pada jalan dan substansi yang sebenarnya. Kalau tidak, maka pola keilmuan dikotomik di atas akan terus berjalan dan sulit menemukan solusi alternatif dalam upaya pengembangan keilmuan di masa depan.
Setidaknya ada beberapa tawaran kongkrit dalam upaya pengembangan keilmuan Islam di masa depan. Pertama, diperlukan adanya penyadaran pemahaman bahwa semua ilmu (baik ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu agama) itu berasal, berakar dan bersumber dari Allah Swt. yang dimanifestasikan dalam Islam, sehingga tidak akan tampak kembali bahwa ilmu-ilmu Islam itu hanyalah berkisar pada ilmu-ilmu agama an sich, sementara ilmu-ilmu sekuler adalah ilmu-ilmu modern seperti Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Teknologi Informasi dan sejenisnya). Untuk itu, istilah ilmu Fardhu ’Ain (ilmu-ilmu agama) yang meliputi; (al-Qur’an, syari’at, sunnah (hadits), figh, teologi (ilmu kalam), metafisika Islam, bahasa Arab dan semacamnya) dan istilah ilmu-ilmu Fardhu Kifayah, meliputi: (ilmu alam, ilmu terapan, teknologi, kebudayaan Barat, filsafat, linguistik dan semacamnya) yang biasa digunakan dalam praktek pendidikan dan pengembangan kurikulum pendidikan harus segera dihilangkan.
Harus segera ditekankan penyadaran bahwa semua ilmu itu adalah ilmu Islam dan bersumber dari Tuhan. Inilah Etika Tauhidik -meminjam istilahnya Prof. Amin Abdullah- sebagai epistemologi-fundamental pengembangan ilmu-ilmu Islam di masa depan.  Sebab, dengan Etika Tauhidik maka alam jagad raya yang banyak menyimpan misteri harus digali dan dikuasai agar bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan. Menguasai alam berari menguasai hukum alam dan segala dinamika yang ditimbulkannya. Maka dengan sendirinya manusia akan menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan berdasarkan hukum alam dengan peran manusia sebagai Khalifah Fil-Ardh (wakil Allah di muka bumi).
Kedua, seiring dengan masih melekatnya dikotomi keilmuan, maka diupayakan adanya suatu gerakan-gerakan konsep (pemikiran) dan praktek dalam bentuk integrasi epistemologi dan ontologi keilmuan, yang di dalamnya ada upaya untuk menyatukan berbagai macam keilmuan seperti yang telah dicontohkan para ilmuwan muslim pada masa-masa kejayaan Islam, seperti al-Khawarizmi, Umar al-Khayam, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan semacamnya. Tidak seperti tokoh-tokoh agama atau ulama’ (ilmuwan muslim) sekarang yang terlalu mengembangkan keilmuan Islam yang spesifik-parsialistik, dengan hanya menjadi ahli Hadits, ahli Fiqh, dan sebagainya tanpa ada upaya-upaya pemikiran ulang terhadap keahliannya.
Dengan seperti itu, ilmu-ilmu Islam akan mendapatkan peluang untuk berkembang dan berjaya lagi di masa-masa yang akan datang. Disamping ada upaya juga untuk melakukan pola integrasi aksiologi keilmuan. Untuk itu, manusia (baca: umat Islam) yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-tanda-Nya berupa alam jagad raya menggunakan perangkat berupa ilmu fisik; seperti ilmu Fisika, Kimia, Geografi, Geologi, dan Astronomi.
Sedangkan yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-tanda-Nya berupa manusia, akan memunculkan berbagai ilmu juga. Dari sisi fisik melahirkan ilmu Biologi dan Kedokteran, dari aspek psikis manusia memunculkan ilmu Psikololgi, dan apabila dikaji secara kelompok, maka akan melahirkan Sosiologi, Antropologi, Ekologi, Hukum, Sejarah dan semacamnya. Sementara yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-tanda-Nya berupa wahyu, muncul Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Tafsir, Fiqih, Ilmu Kalam dan semacamnya. Begitulah seterusnya hingga Islam akan menemukan kembali ’tempat asalnya’ yang telah lama ditinggal oleh umat Islamnya sendiri.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya tantangan di era globalisasi dan industrialisasi yang menuntut respons cepat dan tepat dari sistem pendidikan, maka sebagai langkah ketiga, umat Islam dituntut tidak hanya sekedar survive di tengah-tengah persaingan global, tetapi harus tampil dengan orientasi pemikiran yang konstruktif dan transformatif dalam kerangka mengembangkan sistem pendidikan (terutama sistem Pendidikan Tinggi) dengan tidak hanya menyuguhkan fakultas-fakulatas agama, tetapi harus siap dan mampu menyediakan fakultas-fakultas umum dengan corak epistemologi keilmuan yang mampu mengkombinasikan antara nilai- normatif keagamaan yang terintegralisasikan dalam format integreted curriculum (harmonisasi antara keilmuan Islam dengan keilmuan sekuler) dalam sistem pembelajaran yang akademik dan terarah.
Pentingnya Evaluasi Kritis
Pola pengembangan keilmuan yang integralistik tersebut tentu harus dilandasi moralitas keagamaan yang humanistik dan progresifistik, sehingga bisa masuk dan menyentuh pada semua disiplin keilmuan secara luas, seperti matematika, fisika teknologi dan sejenisnya. Hal ini penting dalam rangka memberikan landasan moral Islam terhadap pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan. Semua ilmu pengetahuan tidak boleh dipandang secara terpisah karena memiliki basis ontologi yang sama.
Hanya saja yang perlu dikaji ulang adalah luasnya cakupan dan wilayah ilmu-ilmu Islam itu sendiri yang sebagian di antaranya sudah tidak relevan lagi dikembangkan pada masa kini. Karena itu, diperlukan evaluasi yang kritis-konstruktif terhadap bagian-bagian dari ilmu-ilmu keislaman yang layak dan masih relevan dikembangkan, dan bagian mana yang sudah seharusnya dimonumenkan menjadi sejarah keilmuan.

Langkah penyatuan paradigma keilmuan di atas merupakan tugas kita semua, khususnya dalam penyelenggaran pendidikan dan praktek pengembangan keilmuan Islam. Untuk itu, diperlukan tindakan korektif-evaluatif terhadap pengembangan keilmuan dan praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Tentu saja perubahan dan pengembangan ini membutuhkan konsep yang matang dan format integrasi keilmuan yang detail dan terarah agar tidak sekedar menjadi konsep tanpa aplikasi yang jelas.
Jika langkah-langkah di atas terlaksana dengan baik, maka ilmu pengetahuan Islam akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari dan dikaji oleh siapapun. Pada gilirannya, dualisme dikotomik pendidikan yang tampaknya sulit dihilangkan tersebut akan mudah diluruskan karena pada hakekatnya memang tidak sesuai dengan hakikat keilmuan Islam. Semoga!.

   --(@)--

*Penulis Berdomisili di: Desa Dasok Pademawu Pamekasan 69381. Aktif sebagai Peneliti masalah-masalah Pendidikan dan Dosen di INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep




CERAMAH Kependidikan: URGENSI PENDIDIKAN BAGI GENERASI BANGSA



Ceramah Umum Kependidikan
URGENSI PENDIDIKAN BAGI GENERASI BANGSA
Oleh: Fathor Rachman (Utsman)


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Hadirin-Hadirat yang dimuliakan Allah SWT….!
Akhir-akhir ini sering kita saksikan berbagai tindakan amoral dan asusila yang dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Bahkan banyak di antara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi, sering anarkis, dan terlibat pergaulan yang tidak baik seperti terlibat narkoba, free seks dan lebih sering mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (kita tentu masih ingat banyaknya kasus-kasus kemanusiaan di berbagai kampus dalam negara kita yang tidak mencerminkan sama sekali sebagai sosok manusia terdidik atau terpelajar).
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang-menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistem pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat dari perilaku para pejabat kita?.
Fenomena tersebut saudara-saudara mencerminkan bahwa manusia Indonesia, termasuk kita semua, belum memahami hakekat dan arti penting dari pendidikan yang sebenarnya. Sesungguhnya saudara-saudara sekalian, pendidikan itu merupakan proses untuk mencetak manusia yang bisa menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan menjadikan manusia yang bermoral. Oleh karenanya, pendidikan apapun jenisnya, baik pendidikan sekolah, madrasah, lebih-lebih pesantren hendaknya mampu mengarahkan anak didiknya (siswa) ke dalam proses tersebut. Bukan hanya sekedar proses belajar mengajar yang cukup hanya sekedar mentrasnferkan ilmu pengetahuan. Tetapi yang penting bagaimana pendidikan itu mampu mewujudkan generasi yang mampu meneruskan masa depan bangsa dan masa depan kemanusiaan Indonesia yang telah mengalami berbagai krisis yang tidak kunjung selesai ini.

Para hadirin sekalian…….!
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup, dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan-santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama. Dan harapan satu-satunya adalah tentu kita merindukan adanya generasi yang terdidik, bersekolah, dan lebih dalam lagi yang serius mencari dan mengembangkan potensinya di dalam dunia pendidikan.
Telah banyak pesan-pesan agama yang mengharuskan kita berpendidikan atau berilmu pengetahuan untuk meraih masa depan yang penuh kebahagiaan dan kesejahteraan.
Di dalam Alqur'an telah disebutkan dengan tegas, Allah menyatakan "yarfa'il llahul ladzina amanu minkum walladzina utul ilma darajat",  Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan beberapa derajat. Tentu saja dalam konteks kekinian yang dimaksud dengan orang yang berilmu pengetahuan tersebut adalah orang-orang yang berpendidikan, sebab kita tidak pernah melihat orang yang mampu memainkan peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kecuali memang ia punya kualitas pendidikan yang tinggi.
Di dalam hadits pun, kita telah dipesankan oleh Rasullullah SAW bahwa "man arada dunya fa'alaihi bil-ilmi, wa man aradal akhirah fa'alihi bil-ilmi, wa man arada huma fa'alaihi bi-ilmi, barang siapa yang ingin kehidupan dunianya terpenuhi maka ia harus berilmu pengetahuan, dan barang siapa yang ingin kehidupan akhirat maka ia juga harus berilmu pengetahuan, dan barang siapa yang ingin kedua-duanya maka ia juga harus berilmu pengetahuan.
Lalu siapa yang dimaksud dengan orang yang berilmu pengetahuan tersebut? Orang berilmu saudara-saudara tentu saja sangat identik dengan orang yang berpendidikan, orang yang berpendidikan erat kaitannya pula dengan orang-orang yang bersekolah atau orang yang berproses dalam bangku pendidikan, entah apapun pendidikannya, baik formal, informal, maupun non-formal.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pendidikan adalah asset (kekayaan) bangsa yang perlu dibina dan dikembangkan untuk kemajuan bangsa sendiri, sebab pendidikan merupakan investasi peradaban. Pernyataan tersebut mengandung suatu pesan ideologis-edukatif bahwa pendidikan yang akan menentukan masa depan dan dinamika peradaban dunia. Life is education, hidup adalah pendidikan, begitulah ‘orang modern’ menyebut dunia pendidikan.
Pendidikan, selain sebagai wahana strategis merubah masa depan, ia juga mempunyai hubungan dialektikal dengan transformasi sosial dan arah pembangunan bangsa. Sehingga seringkali muncul ungkapan bahwa kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas pendidikan yang dikembangkan. Bahkan para pakar pendidikan dari berbagai negara manapun dengan tegas mnayatakan bahwa pendidikan merupakan icon yang sangat signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa, dan wahana yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak atau karakter bangsa (Nation Character Building).

Sadara-saudara yang terhormat….dan yang dimuliakan Allah SWT….!
Dulu, tujuan utama bangsa ini dibangun adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara sesuai amanat UUD negara kita. Tetapi sayang, tujuan mulia tersebut belum kita saksikan secara merata. Buktinya, masyarakat kita masih banyak yang buta huruf, buta aksara, dan yang lebih parah lagi kebodohan masih sangat dirasakan oleh bangsa kita. Semua ini akibat dari masyarakat kita, termasuk pemerintah belum menyadari secara totalitas akan arti pentingnya pendidikan.
Coba saja kita lihat hasil laporan World Competetiveness Yearbook tahun 2000, bahwa daya saing SDM Indonesia berada di posisi 46 dari 47 negara. Sungguh posisi yang sangat tragis dan memalukan. Ini akibat dari rendahnya pendidikan bangsa kita dan merupakan dampak dari banyaknya generasi kita yang bodoh, tidak bersekolah, dan tidak menghargai sama sekali hakekat dan pentingnya pendidikan. Lalu siapa yang akan bertanggungjawab?.
Oleh karena itu saudara-saudara, sudah saatnya kita harus maju, kita harus bangkit membangun bangsa ini melalui jalur dunia pendidikan. Kita sudah sangat lelah dan kapok mengalami krisis yang berkepanjangan ini. Kita tidak punya harapan lagi kecuali dengan cara mari kita bangun generasi bangsa ini dengan pendidikan setinggi-tingginya.
 Pendidikan merupakan persoalan penting bagi semua umat, pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat (society). Pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.
Syekh Mustafha al-Ghalayini, pengarang kitab "Iddhatun Nasyi'in", pernah mengingatkan kita, terutama generasi muda, bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan kita, dan bahwa segala persoalan bangsa ini sangat ditentukan oleh kita generasi muda sebagai tulang punggung negara.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang berhak menyandang predikat itu? Pemuda yang seperti apa yang mampu mengemban amanat agung tersebut? Tentu saja saudara-saudara, generasi yang dimaksud dalam pernyataan beliau tersebut adalah pemuda yang terdidik, punya potensi, dan yang punya semangat serta komitmen kuat terhadap dunia pengetahuan dan dunia kependidikan. Yang semuanya ia gunakan untuk kemajuan umat dalam kehidupan, masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan demikian, sudah saatnya kita membangun diri menjadi manusia dan generasi yang berkualitas. Dan saya yakin tempat yang tepat untuk itu adalah dunia pendidikan dengan beberapa alasan logis yang telah disebutkan di atas. Kalau tidak, tentu kita akan menyesal selama hidup kita.
Ada sebuah syair yang dapat kita renungkan "Man lam yadzuqqa murrot ta'allumi sya'atan, tajarra'a dzullal jahli tula hayatihi", barang siapa yang tidak pernah merasakan pahitnya belajar (sekolah/berpendidikan) satu jam saja, maka ia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Terakhir pesan saya, mari isi hidup kita dengan ilmu, mari kita habiskan hidup ini dengan pendidikan, mari kita sekolah, dan mari kita hidupi dunia pendidikan untuk kemajuan kita, keluarga kita, masyarakat kita, serta bangsa dan negara kita.
Demikianlah uraian singkat sebagai ceramah umum tentang pentingnya pendidikan bagi kehidupan kita. Kurang lebihnya kami mohon maaf.

Wassalamua'alaikum Wr. Wb.

Penulis: Fathor Rachman (Utsman)



MEMERDEKAKAN MASYARAKAT LEWAT PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS



MEMERDEKAKAN MASYARAKAT
LEWAT PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS[1]

Oleh: Fathor Rachman, M.Pd.[2]

“Jangan mengira bahwa dengan berdirinya Negara Indonesia Merdeka
perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya katakan, di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila”
(Kutipan Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)

Substansi Makna Kemerdekaan
Pernyataan salah satu tokoh perintis kemerdekaan RI di atas, merupakan visi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus idealisme kemerdekaan yang sesungguhnya yang harus dijadikan pegangan seluruh bangsa Indonesia. Visi kemerdekaan RI di atas juga secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur[3]. Untuk itu, memahami visi kemerdekaan di atas, maka ada beberapa catatan penting yang harus mendapatkan perhatian bersama.
Pertama, kemerdekaan RI adalah suatu proses memerdekakan manusia dan bukan akhir perjuangan suatu bangsa. Oleh karena itu, kemerdekaan harus dipandang sebagai ’jembatan’ menuju kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya. Artinya, bahwa kemerdekaan seyogyanya dipandang sebagai proses untuk menghantarkan bangsa Indonesia menuju terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan berkualitas berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengedepankan ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kebangsaan yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Kedua, kemerdekaan RI merupakan kemerdekaan yang berlandaskan ‘kemanusiaan’ universal yang mengandung nilai-nilai humanisme (humanisme values). Nilai-nilai di sini mencakup keadilan, persamaan, keseimbangan, dan toleransi. Kemanusiaan dimaksud mencakup pada seluruh aspek kehidupan manusia Indonesia yang adil dan damai, tanpa mengenal diskriminasi sosial. Sikap kemerdekaan seperti inilah menurut William Chang yang dilupakan dan disalahtafsirkan oleh rezim Orba –hingga  rezim orde reformasi sekarang– sehingga  menjadi ’kerikil-kerikil tajam’ dan batu sandung kehancuran bangsa Indonesia[4]. Hal ini terjadi, karena hampir seluruh pembangunan bangsa yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia –dulu hingga sekarang– sangat menyimpang dari kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketiga, visi kemerdekaan di atas merupakan cita-cita mulia the founding fathers negara Indonesia yang perlu dijadikan komitmen bersama mereformasi bangsa kita untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebab, kelahiran sebuah negara yang berkedaulatan tentunya tidak lepas dari fitrah dasar manusia yang ingin bebas merdeka tanpa adanya eksploitasi, intimidasi, kolonialisme dan imprealisme di segala aspek kehidupan (termasuk dalam bidang pendidikan). Untuk itu, suatu negara menurut Jakob Oetama harus menjadi ”perumahan rakyat” yang membuat bangsanya betah dan lebih sanggup mewujudkan motivasinya berbangsa dan bernegara[5], yaitu dengan cara menjadikan bangsa dan negara yang sejahtera, adil dan makmur, yang melindungi dan menghormati seluruh martabat dan hak-hak asasi manusia.
Artinya, institusi apapun di negara kita tercinta ini, termasuk institusi pendidikan, harus menjadi ”tempat yang menyenangkan dan membikin betah” seluruh komunitas di dalamnya, tanpa ada intimidasi, diskriminasi rasial dan kekerasan kebijakan, sehingga di dalam lembaga pendidikan tersebut ada ruang gerak untuk berekspresi, beraktualisasi dan menyampaikan aspirasi. Kalau lembaga pendidikan menjadi tempat yang membosankan, mengerikan, menyeramkan, dan menjijikkan, maka jangan berharap para komunitas (pengelola, para guru dan siswa) di dalamnya akan termotivasi mengembangkan potensi dirinya  untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Kalau belakangan NKRI mengalami ancaman disintegrasi yang sering mengintip keutuhan bangsa, serta gejolak konflik yang dibarengi dengan aksi kekerasan. Hal itu harus dilihat sebagai bentuk reaksi dan luapan kekecewaan masyarakat karena cukup lama berada dalam masa represi dan perlakuan tidak adil yang diperlihatkan pemerintah dalam bentuk ”kekerasan kebijakan” yang tidak memihak rakyat, seperti mahalnya biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain sebagainya. Akhirnya yang terjadi, bangsa (rakyat) kita tidak merasa betah tinggal di negaranya sendiri, karena kesenjangan sosial, keterpurukan ekonomi yang amat ganas, penyalahgunaan kekuasaan, dan praktik KKN merajalela yang menjadikan mutu pendidikan kita begitu terpuruk.
Inilah ancaman mendasar sesungguhnya yang harus disadari oleh pemerintah ketika semangat dan visi kemerdekaan tidak lagi menjadi spirit pembangunan negara, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Ini semua mengindikasikan bahwa negara RI yang kini sedang mengalami proses transisi demokrasi benar-benar sedang berada dalam situasi kritis yang harus segera diobati dengan memikirkan kembali (rethingking) visi kemerdekaan dengan terus meningkatkan proses nation building yang belum sempurna seperti amanat para the founding fathers di atas. Kalau tidak, maka ketidakadilan sosial yang sedang berkembang subur dalam negara kita akan melahirkan perbedaan sosial yang mengarah pada konflik yang membahayakan. Disadari atau tidak, akumulasi kejengkelan sosial atas perilaku sosial yang tidak adil, diskriminatif dan tidak demokratis sangat merugikan negara sendiri, karena suatu saat konflik individual tersebut akan meledak dan berubah menjadi konflik sosial.
Bila proses transisi ini tidak bisa dilalui dengan baik, dan jika roda perjalanan pemerintahan era reformasi ini tidak kembali lagi kepada semangat kemerdekaan RI yang dicita-citakan pendiri Republik ini, maka bukan hanya disintegrasi bangsa saja yang menjadi ancaman, lebih dari itu kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau dalam bahasanya Imam B Prasodjo hancurnya social bond (kerekatan sosial) akan tumbuh subur, kalau social bond hancur, maka lahirlah social distrust (iklim tidak saling mempercayai dan saling curiga) di antara individu masyarakat dan kelompok-kelompok sosial[6] dan kelompok etnis tertentu, sehingga identitas-identitas individu dan kelompok akan saling bermusuhan dan saling berupaya memerdekakan diri.
Oleh karena itu, kemerdekaan RI yang sesungguhnya juga harus dimaknai sebagai bentuk kesepakatan universal akan peleburan identitas-identitas individu dan kelompok yang terfragmentasi dalam bentuk Persatuan Indonesia (Sila Ketiga) menuju Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila Kedua) demi menegakkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila Kelima) berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dan Demokrasi (Sila Pertama dan Keempat).

Esensi Penyelenggaraan Pendidikan yang Memerdekakan
Secara prinsip, berdasarkan UUD 1945, pendidikan merupakan hak semua warga negara Indonesia. Prinsip ini kemudian dipertegas dalam dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, bahwa: 1) pendidikan harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; 2) pendidikan harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan suatu bangsa (pasal 4); dan 3) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (pasal 5)[7].
Sebagai wujud kepedulian pemerintah –baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah– maka semua warga negara harus merasakan adanya pemerataan dan kesempatan memperoleh pendidikan. Untuk itu, pendidikan harus diselenggarakan berdasarkan pada standar kelayakan dan analisa kebutuhan masyarakat dan harus diselenggarakan melalui peran serta seluruh komponen masyarakat melalui kebijakan-kebijakan pendidikan yang bisa memberdayakan semua lapisan masyarakat (perkotaan, pedesaan/masyarakat pinggiran/pedalaman).
Dengan demikian, perluasan pendidikan di berbagai tempat dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan (pendirian, pengelolaan, dan pertanggung jawaban) yang mencakup semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan, harus dijamin eksistensinya berdasarkan ketentuan hukum yang ada dan sama-sama berhak mendapatkan perhatian dan memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu dan sistemik, sehingga dalam paradigma pendidikan nasional; tidak ada istilah satuan pendidikan “plat merah” (negeri) atau “plat kuning” (swasta) dalam sistem pengelolaan pendidikan.
Kaitannya dengan kemerdekaan pendidikan, maka memerdekakan masyarakat dengan pendidikan yang berkualitas harus dimaknai sebagai bentuk demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, yang dapat dipahami dalam dua segi yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan otonomi pendidikan. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan untuk mewujudkan perubahan paradigma pengelolaan pendidikan yang birokratik-sentralistis menuju pendidikan yang demokratis-desentralistis.
Oleh karena itu, kemerdekaan pendidikan masyarakat secara kontekstual menginginkan adanya proses penyelengaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan nilai-nilai yang ada dalam kemajemukan bangsa yang harus dijalankan dengan konsep keterbukaan, sistemik, dan mampu memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[8]
Untuk mewujudkan semua itu, sudah saatnya pemerintah ‘membuktikan’ beberapa program pokok pendidikan nasional, mulai dari program pemerataan dan perluasan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, penyesuaian kurikulum pendidikan dengan tuntutan perkembangan nasional dan dunia global, peningkatan anggaran pendidikan, hingga program peningkatan good government dan clean governance dan akuntabilitas pengelolaan pendidikan[9], agar supaya kesempatan dan kebebasan masyarakat untuk memperoleh kesamaan hak dalam pendidikan dapat terwujud.
Untuk itu, pertama-tama pendidikan harus dipahami sebagai sarana metodologis, di mana pelaksanaan pendidikan harus dilakukan secara demokratis, terbuka (transparan) dan dialogis.
Secara demokratis, dimaksudkan bahwa pendidikan tidak sekedar proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan merupakan media dan tempat beraktifitas seluruh komunitas di dalamnya untuk membangun kesadaran, kedewasaan, dan kedirian (terutama peserta didik) berdasarkan kebebasan yang positif. Bahkan menurut Zamroni, pendidikan yang demokratis harus memiliki tujuan untuk menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan/kebijakan publik[10], termasuk kebijakan penyelenggaraan pendidikan dalam berbagai level. Baik kebijakan pendidikan dalam konteks penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Secara terbuka (transparan) dan dialogis dimaksudkan bahwa penyelenggaraan pendidikan harus mengembangkan aspek profesionalitas, prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipatif dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu seluruh elemen pendidikan dapat bersama-sama mengembangkan lembaga pendidikan secara harmonis, terbuka, dan saling menghargai satu sama lain dalam suasana yang penuh dengan kebebasan dalam beraktualisasi dan menyampaikan aspirasi, tanpa ada intimidasi dan diskriminasi. Sehingga tidak ada lagi nuansa penuh curiga, saling iri dan merasa dibohongi dalam segala hal menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Misalnya penuh curiga akan adanya penyalahgunaan kekuasaan, penggelapan dana bantuan sekolah, penyelewengan dana BOS, dan lain semacamnya.
Selanjutnya, praktek-praktek pendidikan juga harus didasarkan pada kebebasan bertindak, kebebasan berfikir dan berpendapat secara ilmiah,[11] serta membangun tradisi ilmiah yang objektif dan progresif, tanpa dihantui sikap-sikap intimidatif dari pihak-pihak tertentu, baik dari pihak pengelola pendidikan maupun dari pemerintah.
Dengan demikian, kemerdekaan pendidikan masyarakat dalam konteks pendidikan pembebasan akan melahirkan suatu pola penyelenggaraan pendidikan yang berpegang pada prinsip: 1) bebas dari pola pikir dikotomis; 2) bebas dari pemasungan terhadap kesadaran kritis; dan 3) bebas dari praktek-praktek pendidikan yang membelenggu kreatifitas dan kebebasan berfikir masyarakat. Semua prinsip ini perlu dibudayakan dan dibangun dalam praktik pendidikan dengan sikap yang demokratis dengan tujuan ingin menciptakan produk pendidikan yang memiliki kekuatan demi menggalang perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif, di samping untuk memberikan ketajaman intelektual masyarakat yang kritis.
Untuk itu, meningkatkan kualitas pendidikan, terutama era industrialisasi harus dimulai dari; Pertama, meningkatkan SDM pengelola pendidikan untuk bisa membaca keunggulan lokal. Sebab, penyelenggaraan sistem pendidikan yang demikian akan melahirkan lulusan yang siap mengembangkan potensi daerahnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal tetapi tetap harus diupayakan berorientasi dan bekerja secara global melalui pemanfaatan jaringan komunikasi dan teknologi informasi. Kedua, membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kualitas pendidikan. Proses penyadaran ini sebagaimana dinyatakan Willian A. Smith (2001) merupakan proses yang bersifat internal, psikologis, dan perubahan paradigma bagaimana individu-individu memahami dunia mereka, termasuk dalam konteks ini pentingnya pendidikan yang berkualitas (quality assurance)[12]. Untuk itu, para stake holders pendidikan harus mampu dirangkul oleh lembaga pendidikan untuk bersama-bersama bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dan ketiga, sudah saatnya lembaga pendidikan dituntut untuk mandiri, bebas dan memiliki ciri khas pengelolaan pendidikan yang mampu melayani peserta didik berdasarkan pada segala potensi yang dimiliki, potensi daerah sekitar sekolah dan asal daerah siswa, sehingga segala sumber daya (manusia, sarana, media, sumber alam, dan fasilitas lain) yang ada di sekitar sekolah mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan sekolah yang lebih efektif dan efisien.

Wallahu ‘Alam Bis Shawab



SUMBER ACUAN


Ahmad Warid Khan (2002). Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Penerbit Wacana.
Anwar Arifin (2003) Memahami Paradigma Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas. Jakarta: Depag RI.
Imam B. Prasodjo (2001). “The End of Indonesia”. Kata Penutup buku: Indonesia 2001 Kehilangan Pamor. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Jakob Oetama. (2001). Kata Pengantar buku: Indonesia 2001 Kehilangan Pamor. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
William A. Smith. (2001). CONSCIENTIZACAO: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Read Book.
Willian Chang. (2002). Kerikil-kerikil di Jalan Reformasi; Catatan-catatan dari Sudut Etika Sosial. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Zamroni, (2001). Pendidikan Untuk Demokrasi; Tantangan Menuju Civil Society. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.



[1]Makalah disampaikan dalam acara Seminar Regional Pendidikan dengan tema “Memerdekakan Masyarakat Lewat Pendidikan yang Berkualitas” oleh Panitia Peringatan HUT Kemerdekaan RI, Komunitas Sanggar ASESAN dan OSIS MA Nurur Rahmah, Paragaan Sumenep.

[2]Dosen Tetap sekaligus Kajur PAI Pascasarjana INSTIKA Guluk-Guluk, tinggal di Dasok Pademawu Pamekasan

[3]Lihat Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[4]Willian Chang. (2002). Kerikil-kerikil di Jalan Reformasi; Catatan-catatan dari Sudut Etika Sosial. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hal. 67-68.
[5]Jakob Oetama. (2001). Kata Pengantar buku: Indonesia 2001 Kehilangan Pamor. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hal. x-xi.
[6]Imam B. Prasodjo (2001). “The End of Indonesia”. Kata Penutup buku: Indonesia 2001 Kehilangan Pamor. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hal. 189. 
[7] Lihat Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
[8] Lihat Pasal 4 ayat 1, 2 dan 6 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
[9]Anwar Arifin (2003) Memahami Paradigma Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas. Jakarta: Depag RI. hal:1-7
[10]Zamroni, (2001). Pendidikan Untuk Demokrasi; Tantangan Menuju Civil Society. Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
[11]Ahmad Warid Khan (2002). Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Penerbit Wacana. hal. 199-200
[12] William A. Smith. (2001). CONSCIENTIZACAO: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Read Book. hal. 11

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM Oleh Fathor Rachman Corporate culture (budaya kerja korpora...