Oleh Fathor Rachman, M.Pd.
Leadership is an action, not a position,
kepemimpinan adalah
sebuah tindakan (kinerja), bukan berkaitan dengan posisi (kekuasaan). Karena
itu, siapapun diri kita dan apapun jabatannya, kita adalah pemimpin. Minimal
memimpin diri kira sendiri. Sebab setiap tindakan yang kita lakukan itu adalah
bentuk dari kepemimpinan yang dilakukan buat diri kita sendiri. Sikap inilah
yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum panjang lebar membicarakan
kepemimpinan dalam segala bidang kehidupan.
Berkaitan dengan
sikap itulah, maka kepemimpinan sangat menuntut adanya keberanian seseorang
untuk membuat komitmen dan melaksanakan komitmen tersebut secara konsisten
dalam bentuk kinerja yang nyata. Suatu tindakan atau kinerja tanpa didasari
komitmen yang tinggi akan pudar tanpa bekas. Sebaliknya, komitmen tinggi tanpa
dibuktikan dengan konsistensi tindakan nyata, hanya akan menjadi janji-janji
semu penuh ilusi. Ingatlah bahwa hal-hal besar berawal dari
komitmen-komitmen kecil. Dan ini harus diawali terlebih dahulu oleh diri kita
untuk melatih bersikap konsisten melakukan tindakan dan pengendalian diri
sebelum memimpin orang lain. Stephen
Covey mengatakan bahwa “making and keeping promises to ourselves precede
making and sleeping promises to others”.
Untuk itu sebelum kita memimpin orang
lain, pimpinlah diri kita sendiri dengan membuat keputusan-keputusan yang
sederhana dalam rangka mencapai keputusan-keputusan besar dalam suatu lembaga
atau organisasi. Sebab kepemimpinan merupakan kemampuan dan proses mempengaruhi
kelompok atau orang-orang ke arah pencapaian tujuan organisasi. Leadership is
the ability to influence group toward the achievement of goals. Begitulah
kata Stephen P. Robbin (1993).
Kepemimpinan
Pendidikan Tinggi
Hubungannya dengan kepemimpinan
pendidikan, maka institusi pendidikan harus dipandang sebagai sebuah organisasi
akademik yang hidup, di mana di dalamnya mengandung banyak elemen yang harus
diberi tindakan dan kebijakan nyata, bukan janji-janji, agar semua orang yang
berada di dalamnya bisa bertindak dengan “perilaku-perilaku edukatif”, bukan
“perilaku-perilaku politis” yang hanya berupaya merendam kepentingan untuk merebut
popularitas, jabatan dan kekuasaan.
Perilaku edukatif berhubungan erat
dengan komitmen bersama seluruh pengelola sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) untuk
menciptakan budaya akademik yang lebih mementingkan peningkatan kualitas
intelektual, emosional dan spiritual mahasiswa yang ditunjukkan dengan
peningkatan mutu akademik melalui proses dan hasil pembelajaran. Sedangkan
perilaku politis di dalam lembaga pendidikan identik dengan sikap-sikap
individual para pengelolanya yang berupaya menjadikan organisasi kampus sebagai
ajang tawar-menawar posisi untuk meraih kekuasaan dan jabatan yang
ujung-ujungnya hanyalah peningkatan popularitas dan kesejahteraan. Akhirnya
peningkatan mutu seringkali terabaikan dan berwujud sebagai simbol bombastis
yang tidak mengandung nilai substantif sedikitpun.
Inilah dilema yang sering terjadi
ketika sebuah institusi atau universitas banyak menjanjikan posisi-posisi
penting di luar substansinya sebagai lembaga pendidikan tinggi pencetak
generasi intelektual akademis penerus masa depan bangsa. Perguruan tinggi
merupakan institusi yang concern pada peningkatan intelektual,
penelitian dan pengabdian masyarakat. Bukan lembaga politis yang menjanjikan
kekuasaan-kekuasaan tertentu. Untuk itu, pemimpin organisasi perguruan tinggi
harus berani untuk mengenali makna-substansi kepemimpinan yang sesungguhnya
agar tidak memahami kepemimpinan pendidikan secara salah.
Pemimpin dan pengelola pendidikan
harus berani memisahkan kepemimpinan dari segala yang ada di luar wilayahnya,
seperti pangkat, jabatan, kedudukan dan sebagainya. Kepemimpinan adalah sikap,
tindakan, komitmen, perilaku, kebiasaan dan katakter yang muncul secara
internal dalam diri masing-masing orang. Berbeda dengan manajer yang identik
dengan posisi dan kekuasaan yang harus ditumbuhkan dari luar. Ingatlah bahwa pangkat,
jabatan dan kedudukan itu hanyalah pseudo leadership (kepemimpinan semu).
Oleh karena itu, Sergiovanni (1984) mengidentifikasi
lima kekuatan dan kemampuan kepemimpinan (leadership forces) kaitannya
dengan kepemimpinan pendidikan; 1) kepemimpinan pendidikan menuntut teknik
manajemen, sebab pemimpin disebut juga sebagai “the leader as management
engineer”; 2) kepemimpinan merupakan “human engineer”, yang mengatur
sumber sosial dan interpersonal; 3) kepemimpinan adalah “lembaga pembelajaran”
yang mengedepankan komitmen untuk mencetak mahasiswa menjadi ahli pengetahuan
dan teknologi, the leader as ‘clinical practitioner’; 4) menfokuskan
pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah penting; dan 5) kepemimpinan
pendidikan menuntut pemimpin untuk menjadi pembangun budaya sekolah atau
perguruan tinggi yang unik dan khas, yang akan menjadi sumber inspirasi dan
motivasi seluruh elemen di dalamnya.
Lima kekuatan tersebut menunjukkan
bahwa pemimpin tidak hanya bertindak sebagai pengisi jabatan yang kosong dan
pengambil keputusan belaka. Tetapi kepemimpinan lebih kepada upaya memberikan
ruang otonomi yang cukup bagi pemimpinnya untuk melakukan pengelolaan teknis
dan melakukan pemberdayaan-pemberdayaan struktural, organisasional, personal
dan sosial pada suatu komunitas tertentu secara bebas tanpa adanya intimidasi
dan intervensi kepentingan siapapun.
Tentu saja melakukan pengelolaan dan
pemberdayaan organisasi dalam proses kepemimpinan pendidikan harus didukung
oleh suatu kekuatan (power) yang legitimate baik secara de jure
maupun secara de facto. Inilah modal utama bagi seorang pemimpin untuk melakukan
pengaruh kepada orang lain dalam bentuk memberikan perintah, bimbingan, arahan,
maupun persuasi dan stimulasi.
Dalam teori kepemimpinan, suatu
kekuatan adalah modal untuk mempengaruhi orang lain. Power is the ability to
influence the behavior of others (kekuatan adalah kemampuan mempengaruhi
perilaku orang lain). Artinya bahwa sebelum berhasil memimpin dirinya sendiri
dalam bentuk kekuatan dan banyaknya pendukung, maka jangan terlalu ambisi untuk
memimpin orang lain. Meskipun secara intelektual-akademik diri kita berada di
atas angin. Ingat, kepemimpinan tidak membutuhkan modal intelektual dan
material, tetapi membutuhkan kekuatan personal dan emosional melalui bentuk
perilaku yang bermoral dan penuh empati.
Setidaknya ada
dua bentuk kekuatan yang sangat esensial dalam kepemimpinan yang bisa
memberikan pengaruh kuat pada orang lain, yaitu position power dan
personal power. Position power adalah kekuatan (power) yang dimiliki
seseorang karena dia memiliki posisi, jabatan, kedudukan atau kewenangan secara
sah (legitimate). Berbeda dengan personal
power yang lebih kepada kekuatan yang dimiliki seseorang kerena memiliki kelebihan
perilaku dan sifat-sifat kepribadian yang menampilkan aura dan wibawa
kepemimpinan.
Dua kekuatan
inilah yang sering kali bertentangan dalam proses pemilihan pemimpin pendidikan
suatu perguruan tinggi. Satu pihak terlalu memaksakan kehendak (over acting)
untuk menjadi pemimpin karena merasa telah menjadi penguasa organisasi yang
cukup lama, sehingga wewenang kepemimpinan yang sah harus jatuh ke dalam
dirinya. Di pihak yang lain, merasa pantas menjadi pemimpin karena memiliki
kekuatan personal yang tinggi dalam bentuk kepribadian dan sifat-sifat
kepemimpinan, di samping adanya dukungan dari orang lain.
Idealnya,
kepemimpinan pendidikan perguruan tinggi harus memiliki kedua kekuatan ini (position
power dan personal power) sebagai modal dan mampu mensinergikan dan
mendialektikakan keduanya dalam bentuk komitmen tinggi untuk melakukan perubahan-perubahan
besar pada institusi. Tentu perubahan dimaksud adalah lahirnya
kebijakan-kebijakan, program-program, dan kegiatan-kegiatan pendidikan yang
segar dan mencerahkan serta mampu malayani kepentingan komunitas kampus secara
keseluruhan dan masyarakat pendidikan secara umum. Inilah esensi dari makna leadership
is an action yang sesungguhnya.
Inti dari suatu tindakan perubahan
tersebut adalah bahwa kepemimpinan harus betul-betul responsif terhadap
kepentingan berbagai komponen yang ada di dalam institusi pendidikan. Untuk
itulah, Caldwell & Spinks (1992: 156) memberikan rumusan bahwa pemimpin
pendidikan harus mampu mengembangkan kepemimpinan yang mendahulukan consensus
bersama dalam membangun manajemen relasi eksternal berupa hasil, hubungan dan
penghargaan terhadap beberapa komponen berikut: Pertama, komitmen
terhadap gagasan bahwa PT adalah institusi yang didirikan untuk melayani kepentingan
masyarakat secara keseluruhan dan komunitas setempat. Kedua, mengakui
bahwa mereka yang mempunyai kepentingan juga dilayani dalam mendapatkan
informasi bahwa PT diarahkan dan diselaraskan dengan harapan. Ketiga, menjaga
kultur PT yang menghargai berfikir refleksi kritis. Keempat,
mengidentifikasi indikator-indikator yang valid dan dapat diandalkan untuk
digunakan dalam menyampaikan pertanggungjawaban. Dan kelima, menganalisis
dan menvalidasi informasi yang diperoleh dari evaluasi dan review untuk memilih
strategi manajemen dan pembuatan keputusan secara tepat dalam siklus manajemen.
Tentu mencapai semua komitmen di atas
tidak mudah, dibutuhkan beberapa modal kuat dalam rangka melakukan tindakan
perubahan dalam institusi pendidikan, baik berupa kekuatan intelektual, ketrampilan/kreativitas
untuk mewujudkan visi menjadi aksi, memiliki landasan spiritual, moralitas yang
tinggi, dan kecerdasan emosional. Barangkali kekuatan inilah yang akan
melahirkan tindakan dan kebijakan yang sangat strategis dalam proses
kepemimpinan perguruan tinggi.
Sebagai penutup, barangkali sangat
penting untuk direnungkan pernyataan Arvan Pradiansyah (2003) bahwa kepemimpinan
tidak dapat dikarbit, tetapi harus dijalani tahap demi tahap. Pemimpin yang
dikarbit adalah pemimpin yang semu dan menyalahi “the law of harvest”.
Pemimpin karbitan tidak akan pernah langgeng. Kejatuhannya hanyalah masalah bom
waktu!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar