Selasa, 12 Agustus 2014

Idealisme Kepemimpinan Pendidikan Perguruan Tinggi



 Oleh Fathor Rachman, M.Pd.

Leadership is an action, not a position, kepemimpinan adalah sebuah tindakan (kinerja), bukan berkaitan dengan posisi (kekuasaan). Karena itu, siapapun diri kita dan apapun jabatannya, kita adalah pemimpin. Minimal memimpin diri kira sendiri. Sebab setiap tindakan yang kita lakukan itu adalah bentuk dari kepemimpinan yang dilakukan buat diri kita sendiri. Sikap inilah yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum panjang lebar membicarakan kepemimpinan dalam segala bidang kehidupan.
Berkaitan dengan sikap itulah, maka kepemimpinan sangat menuntut adanya keberanian seseorang untuk membuat komitmen dan melaksanakan komitmen tersebut secara konsisten dalam bentuk kinerja yang nyata. Suatu tindakan atau kinerja tanpa didasari komitmen yang tinggi akan pudar tanpa bekas. Sebaliknya, komitmen tinggi tanpa dibuktikan dengan konsistensi tindakan nyata, hanya akan menjadi janji-janji semu penuh ilusi. Ingatlah bahwa hal-hal besar berawal dari komitmen-komitmen kecil. Dan ini harus diawali terlebih dahulu oleh diri kita untuk melatih bersikap konsisten melakukan tindakan dan pengendalian diri sebelum memimpin orang lain. Stephen Covey mengatakan bahwa “making and keeping promises to ourselves precede making and sleeping promises to others”.
Untuk itu sebelum kita memimpin orang lain, pimpinlah diri kita sendiri dengan membuat keputusan-keputusan yang sederhana dalam rangka mencapai keputusan-keputusan besar dalam suatu lembaga atau organisasi. Sebab kepemimpinan merupakan kemampuan dan proses mempengaruhi kelompok atau orang-orang ke arah pencapaian tujuan organisasi. Leadership is the ability to influence group toward the achievement of goals. Begitulah kata Stephen P. Robbin (1993).

Kepemimpinan Pendidikan Tinggi
Hubungannya dengan kepemimpinan pendidikan, maka institusi pendidikan harus dipandang sebagai sebuah organisasi akademik yang hidup, di mana di dalamnya mengandung banyak elemen yang harus diberi tindakan dan kebijakan nyata, bukan janji-janji, agar semua orang yang berada di dalamnya bisa bertindak dengan “perilaku-perilaku edukatif”, bukan “perilaku-perilaku politis” yang hanya berupaya merendam kepentingan untuk merebut popularitas, jabatan dan kekuasaan.
Perilaku edukatif berhubungan erat dengan komitmen bersama seluruh pengelola sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) untuk menciptakan budaya akademik yang lebih mementingkan peningkatan kualitas intelektual, emosional dan spiritual mahasiswa yang ditunjukkan dengan peningkatan mutu akademik melalui proses dan hasil pembelajaran. Sedangkan perilaku politis di dalam lembaga pendidikan identik dengan sikap-sikap individual para pengelolanya yang berupaya menjadikan organisasi kampus sebagai ajang tawar-menawar posisi untuk meraih kekuasaan dan jabatan yang ujung-ujungnya hanyalah peningkatan popularitas dan kesejahteraan. Akhirnya peningkatan mutu seringkali terabaikan dan berwujud sebagai simbol bombastis yang tidak mengandung nilai substantif sedikitpun.  
Inilah dilema yang sering terjadi ketika sebuah institusi atau universitas banyak menjanjikan posisi-posisi penting di luar substansinya sebagai lembaga pendidikan tinggi pencetak generasi intelektual akademis penerus masa depan bangsa. Perguruan tinggi merupakan institusi yang concern pada peningkatan intelektual, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bukan lembaga politis yang menjanjikan kekuasaan-kekuasaan tertentu. Untuk itu, pemimpin organisasi perguruan tinggi harus berani untuk mengenali makna-substansi kepemimpinan yang sesungguhnya agar tidak memahami kepemimpinan pendidikan secara salah.
Pemimpin dan pengelola pendidikan harus berani memisahkan kepemimpinan dari segala yang ada di luar wilayahnya, seperti pangkat, jabatan, kedudukan dan sebagainya. Kepemimpinan adalah sikap, tindakan, komitmen, perilaku, kebiasaan dan katakter yang muncul secara internal dalam diri masing-masing orang. Berbeda dengan manajer yang identik dengan posisi dan kekuasaan yang harus ditumbuhkan dari luar. Ingatlah bahwa pangkat, jabatan dan kedudukan itu hanyalah pseudo leadership (kepemimpinan semu).
Oleh karena itu, Sergiovanni (1984) mengidentifikasi lima kekuatan dan kemampuan kepemimpinan (leadership forces) kaitannya dengan kepemimpinan pendidikan; 1) kepemimpinan pendidikan menuntut teknik manajemen, sebab pemimpin disebut juga sebagai “the leader as management engineer”; 2) kepemimpinan merupakan “human engineer”, yang mengatur sumber sosial dan interpersonal; 3) kepemimpinan adalah “lembaga pembelajaran” yang mengedepankan komitmen untuk mencetak mahasiswa menjadi ahli pengetahuan dan teknologi, the leader as ‘clinical practitioner’; 4) menfokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah penting; dan 5) kepemimpinan pendidikan menuntut pemimpin untuk menjadi pembangun budaya sekolah atau perguruan tinggi yang unik dan khas, yang akan menjadi sumber inspirasi dan motivasi seluruh elemen di dalamnya.
Lima kekuatan tersebut menunjukkan bahwa pemimpin tidak hanya bertindak sebagai pengisi jabatan yang kosong dan pengambil keputusan belaka. Tetapi kepemimpinan lebih kepada upaya memberikan ruang otonomi yang cukup bagi pemimpinnya untuk melakukan pengelolaan teknis dan melakukan pemberdayaan-pemberdayaan struktural, organisasional, personal dan sosial pada suatu komunitas tertentu secara bebas tanpa adanya intimidasi dan intervensi kepentingan siapapun.
Tentu saja melakukan pengelolaan dan pemberdayaan organisasi dalam proses kepemimpinan pendidikan harus didukung oleh suatu kekuatan (power) yang legitimate baik secara de jure maupun secara de facto. Inilah modal utama bagi seorang pemimpin untuk melakukan pengaruh kepada orang lain dalam bentuk memberikan perintah, bimbingan, arahan, maupun persuasi dan stimulasi.
Dalam teori kepemimpinan, suatu kekuatan adalah modal untuk mempengaruhi orang lain. Power is the ability to influence the behavior of others (kekuatan adalah kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain). Artinya bahwa sebelum berhasil memimpin dirinya sendiri dalam bentuk kekuatan dan banyaknya pendukung, maka jangan terlalu ambisi untuk memimpin orang lain. Meskipun secara intelektual-akademik diri kita berada di atas angin. Ingat, kepemimpinan tidak membutuhkan modal intelektual dan material, tetapi membutuhkan kekuatan personal dan emosional melalui bentuk perilaku yang bermoral dan penuh empati.
Setidaknya ada dua bentuk kekuatan yang sangat esensial dalam kepemimpinan yang bisa memberikan pengaruh kuat pada orang lain, yaitu position power dan personal power. Position power adalah kekuatan (power) yang dimiliki seseorang karena dia memiliki posisi, jabatan, kedudukan atau kewenangan secara sah (legitimate).  Berbeda dengan personal power yang lebih kepada kekuatan yang dimiliki seseorang kerena memiliki kelebihan perilaku dan sifat-sifat kepribadian yang menampilkan aura dan wibawa kepemimpinan.
Dua kekuatan inilah yang sering kali bertentangan dalam proses pemilihan pemimpin pendidikan suatu perguruan tinggi. Satu pihak terlalu memaksakan kehendak (over acting) untuk menjadi pemimpin karena merasa telah menjadi penguasa organisasi yang cukup lama, sehingga wewenang kepemimpinan yang sah harus jatuh ke dalam dirinya. Di pihak yang lain, merasa pantas menjadi pemimpin karena memiliki kekuatan personal yang tinggi dalam bentuk kepribadian dan sifat-sifat kepemimpinan, di samping adanya dukungan dari orang lain.
Idealnya, kepemimpinan pendidikan perguruan tinggi harus memiliki kedua kekuatan ini (position power dan personal power) sebagai modal dan mampu mensinergikan dan mendialektikakan keduanya dalam bentuk komitmen tinggi untuk melakukan perubahan-perubahan besar pada institusi. Tentu perubahan dimaksud adalah lahirnya kebijakan-kebijakan, program-program, dan kegiatan-kegiatan pendidikan yang segar dan mencerahkan serta mampu malayani kepentingan komunitas kampus secara keseluruhan dan masyarakat pendidikan secara umum. Inilah esensi dari makna leadership is an action yang sesungguhnya.
Inti dari suatu tindakan perubahan tersebut adalah bahwa kepemimpinan harus betul-betul responsif terhadap kepentingan berbagai komponen yang ada di dalam institusi pendidikan. Untuk itulah, Caldwell & Spinks (1992: 156) memberikan rumusan bahwa pemimpin pendidikan harus mampu mengembangkan kepemimpinan yang mendahulukan consensus bersama dalam membangun manajemen relasi eksternal berupa hasil, hubungan dan penghargaan terhadap beberapa komponen berikut: Pertama, komitmen terhadap gagasan bahwa PT adalah institusi yang didirikan untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan komunitas setempat. Kedua, mengakui bahwa mereka yang mempunyai kepentingan juga dilayani dalam mendapatkan informasi bahwa PT diarahkan dan diselaraskan dengan harapan. Ketiga, menjaga kultur PT yang menghargai berfikir refleksi kritis. Keempat, mengidentifikasi indikator-indikator yang valid dan dapat diandalkan untuk digunakan dalam menyampaikan pertanggungjawaban. Dan kelima, menganalisis dan menvalidasi informasi yang diperoleh dari evaluasi dan review untuk memilih strategi manajemen dan pembuatan keputusan secara tepat dalam siklus manajemen.
Tentu mencapai semua komitmen di atas tidak mudah, dibutuhkan beberapa modal kuat dalam rangka melakukan tindakan perubahan dalam institusi pendidikan, baik berupa kekuatan intelektual, ketrampilan/kreativitas untuk mewujudkan visi menjadi aksi, memiliki landasan spiritual, moralitas yang tinggi, dan kecerdasan emosional. Barangkali kekuatan inilah yang akan melahirkan tindakan dan kebijakan yang sangat strategis dalam proses kepemimpinan perguruan tinggi.
Sebagai penutup, barangkali sangat penting untuk direnungkan pernyataan Arvan Pradiansyah (2003) bahwa kepemimpinan tidak dapat dikarbit, tetapi harus dijalani tahap demi tahap. Pemimpin yang dikarbit adalah pemimpin yang semu dan menyalahi “the law of harvest”. Pemimpin karbitan tidak akan pernah langgeng. Kejatuhannya hanyalah masalah bom waktu!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM Oleh Fathor Rachman Corporate culture (budaya kerja korpora...