Kamis, 11 Maret 2010

Menggagas Manajemen Pendidikan Alternatif Berbasis Nilai-nilai Pesantren

Pendidikan merupakan investasi peradaban, begitulah adagium klasik yang menjadi kebanggaan dunia pendidikan. Di dalamnya tersirat suatu pesan ideologis-edukatif bahwa pendidikan yang akan menentukan masa depan dan dinamika peradaban dunia. Life is education, hidup adalah pendidikan, begitulah ‘orang modern’ menyebut dunia pendidikan.

Selain sebagai wahana strategis merubah masa depan, pendidikan juga mempunyai hubungan dialektikal dengan transformasi sosial dan arah pembangunan bangsa. Mulyasa (2003) menegaskan bahwa pendidikan merupakan icon yang sangat signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa, dan wahana yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak atau karakter bangsa (Nation Character Building).

Tentu saja, kebanggaan tersebut harus tetap dipertahankan dan dikembangkan seiring dengan perkembangan peradaban dunia, lebih-lebih dalam era industrialiasasi modern yang ditandai dengan pesatnya kamajuan dunia teknologi dan informasi yang semakin canggih yang pelan-pelan juga telah masuk ke dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan juga menggeser signifikansi peran pendidikan tersebut, sehingga menuntut pendidikan untuk terus berbenah diri guna mempertahankan posisi strategisnya.

Seiring dengan isu globalisasi, humanisasi, dan demokratisasi serta tuntutan dunia global yang terus bergulir mempengaruhi dunia pendidikan, menyebabkan dunia pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia terus mencari upaya dan pemikiran ulang terhadap sistem pendidikan yang selama ini dijalankan.

Telah banyak upaya perubahan dan inovasi sistem pendidikan yang telah diusahakan pemerintah untuk mendongkrak mutu pendidikan demi mengimbangi berbagai kebutuhan kehidupan masyarakat modern maupun tuntutan perkembangan dunia global. Mulai dari bongkar pasang kurikulum, dari CBSA, KBK hingga KTSP, perubahan paradigma manajemen pendidikan mulai dari konsep MBS, manajemen life skill, hingga Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat. Bahkan telah melahirkan berbagai macam Undang-Undang dan peraturan pendidikan, mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang SNP, hingga Peraturan Mendiknas No. 22 dan 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sebagai dasar lahirnya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Tetapi sayang, pelbagai upaya tersebut malah bukan memperbaiki kualitas dan sistem pendidikan yang ada. Justru sebaliknya, sistem pendidikan nasional sering mengalami disorientasi dan kehilangan visi, bahkan kadang menimbulkan kontroversi yang tidak kunjung selesai. Akibatnya, dunia pendidikan nasional terus mengalami masalah yang sampai detik ini pun belum jelas solusi alternatifnya yang pasti, seperti kasus kontroversial tentang UN (Ujian Nasional), KTSP baru-baru ini, dan lain semacamnya. Akhirnya yang terjadi usaha pemerintah itu tidak maksimal dan pudar seiring dengan makin banyaknya masalah yang menimpa negeri ini.

Fenomena inilah yang menurut Tilaar (2004) menjadi indikasi faktual bahwa sistem pendidikan nasional perlu mencari upaya pembenahan dan penilaian ulang terhadap tujuan pendidikan, kurikulum, proses pendidikan, serta restrukturisasi manajemen. Bahkan perlu mencari pijakan atau basis pengelolaan pendidikan yang lebih relevan dalam konteks kehidupan yang lebih demokratis dan humanistik

Mencermati perkembangan pengelolaan pendidikan nasional yang cenderung carut marut, birokratik, hegemonik, dan bahkan masih sentralistik, mengindikasikan bahwa persoalan pendidikan tidak hanya terletak pada minimnya anggaran, kualitas SDM yang lemah, dan kaburnya visi pendidikan nasional. Lebih dari itu, ternyata manajemennya juga masih simpang siur dan sangat membutuhkan penataan dan perbaikan dengan sistem institusional-organisasional yang lebih akseptabel, comfortable, dan akuntabel. Di sinilah perlunya pendidikan mencari "landasan alternatif" sebagai basis manajemen.

Nila-nilai Pesantren Sebagai Basis Alternatif?

Konon, menjelang kemerdekaan, Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro pernah mengusulkan agar “pendidikan pesantren menjadi sistem pendidikan nasional”. Menurut beliau, selain karena pesantren sudah begitu melekat kuat dalam hati manusia Indonesia, sistem pendidikan pondok pesantren merupakan kreasi atau budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yang tidak terdapat di belahan dunia lainnya, bahkan di negara-negara Islam sekalipun, sehingga karenanya perlu dipertahankan dan dikembangkan. Walaupun akhirnya obsesi beliau ini tidak menjadi kenyataan, antara lain karena warisan pemikiran kolonialisme, tetapi apa yang beliau sampaikan ini merupakan suatu pengakuan tulus yang tentunya bersumber dari ketajaman daya analisis terhadap kelebihan sistem pendidikan pesantren dibandingkan sistem-sistem pendidikan lainnya.

Upaya untuk menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai solusi alternatif dalam menjawab kelemahan sistem dan manajemen pendidikan nasional, memang cukup lama menjadi perdebatan, mulai sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi sekarang. Termasuk juga perlunya pondok pesantren dimasukkan dalam UU SISDIKNAS. Tetapi sayang, perdebatan-perdebatan itu hanya bersifat semu dan just lips service belaka. Karena akhirnya yang terjadi, pesantren tetap saja tidak mendapatkan keadilan dan posisi yang sewajarnya. Padahal kalau difikir secara jernih, justru dari pesantren-lah banyak lahir intelektual-intelektual dan tokoh-tokoh nasional yang sangat besar konstribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan peradaban bangsa ini. Bukankah bangsa Indonesia pernah memiliki seorang Presiden yang berlatar belakang pendidikan pesantren?.

Sistem pendidikan pesantren, diakui atau tidak, memang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya yang ada di Indonesia. Sebab di dalamnya terdapat prinsip-prinsip dan nilai-nilai filosofis-edukatif yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lain. Prinsip-prinsip perjuangan, pengabdian, pengorbanan, jihad, ijtihad, dan mujahadah, yang dijiwai oleh nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, percaya diri dan kemandirian, persaudaraan, dan kebersamaan, serta kebebasan berfikir yang positif dan produktif menjadi landasan utama manajemen pendidikan dan pengembangan berbagai jenis pendidikan yang dikelola di dalamnya.

Di samping itu, di dalam manajemen pendidikan pesantren terdapat prinsip-prinsip filosofis-edukatif lain yang telah lama mengakar seperti competence oriented (bukan sekedar content oriented), life skill, social skill dan bahkan memiliki metode pembelajaran yang pupil centered atau student centered (bukan teacher centered). Anehnya, prinsip dan nilai-nilai filosofis-edukatif ini sangat relevan dengan paradigma baru pendidikan nasional yang marak diperbincangkan dalam konsep KBK, MBS, dan KTSP.

Oleh karenanya, sangat layak dan menarik jika manajemen pendidikan dengan berbasis nilai-nilai pesantren dihadirkan kembali ke tengah-tengah kita, bahkan kalau perlu dikembangkan dan dijadikan solusi alternatif perbaikan manajemen pendidikan di saat sistem pendidikan nasional masih mencari jati diri dan solusi di tengah-tengah keterpurukannya.

Secara konseptual, sampai detik ini memang belum ada teori komprehensif mengenai bagaimana mengelola sistem pendidikan dengan berlandaskan pada nilai-nilai pesantren sebagaimana telah disebutkan di atas, Tetapi gagasan-gagasan yang berupa ‘serpihan’ ide-ide tentang kemungkinan nilai-nilai pesantren dijadikan dasar pijakan pengelolaan satuan sistem pendidikan telah banyak dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai lontaran wacana yang tentunya perlu diperdebatkan dan diteliti relevansinya.

Wacana menjadikan nilai-nilai pesantren sebagai teologi dan basis manajemen pendidikan alternatif tentu saja berangkat dari adanya ‘kebuntuan’ sistem pendidikan nasional untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, akibat dari terjadinya krisis multi dimensional yang melanda bangsa Indonesia. Lebih-lebih krisis moral dan identitas yang terus mewarnai perilaku elit bangsa pada khususnya dan keseluruhan lapisan masyarakat pada umumnya.

Di sisi lain, derasnya dinamika zaman akibat permainan politik global dan arus informasi dan industrialisasi dengan segala implikasinya, tentu semakin mengancam identitas kemanusiaan yang pada gilirannya akan terus melahirkan manusia yang ‘bejat’ dan kehilangan kendali. Maka, dunia pendidikan menjadi harapan bersama untuk membendung semua itu agar melahirkan manusia yang betul-betul ber-nurani manusia, bukan manusia yang ber-nurani tikus yang rakus, dan lain semacamnya.

Pesantren, dengan karateristik nilai-nilai dan tradisi yang di milikinya mempunyai potensi besar untuk dijadikan “pelarian” dalam rangka menyikapi globalisasi dan persoalan-persoalan lain yang menghadang pesantren, secara khusus, dan dunia pendidikan secara umum. Setidaknya, menurut Abd A’la (2006) nilai-nilai pesantren berupa kemandirian, keikhlasan, dan kesederhanaan merupakan nilai-nilai yang dapat melepaskan masyarakat dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk kebergantungan dan pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, terutama anak didik di sekolah.

Nilai-nilai pesantren seperti keikhlasan, kesederhanaan, keteladanan, dan kemandirian adalah kekayaan moral yang dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan pendidikan untuk menghentikan proses penghancuran manusia yang pada intinya berawal dari kemandulan sistem dan pengelolaan pendidikan dewasa ini yang tidak memiliki landasan moral-institusional yang jelas. Tentu saja nilai-nilai pesantren tersebut perlu dikontekstualisasikan dan dicarikan rumusan dalam suatu pola manajemen pendidikan yang sistematis dan komprehensif dalam konteks perkembangan pendidikan dewasa ini.

Persoalannya kemudian, pola manajemen pendidikan seperti apakah yang bisa dijadikan pendekatan untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai pesantren tersebut?. Di sinilah terdapat tahapan-tahapan sistematis untuk memilih pola manajemen pendidikan berbasis pesantren tersebut. Pertama, pola penggantian total (revolutionary design), yaitu mengganti secara totalitas sistem pendidikan sekolah yang selama ini menjadi satu-satunya sistem formal pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren, seperti yang pernah diusulkan oleh Ki Hajar Dewantoro. Tetapi perlu perencanaan yang matang, kodifikasi, penyempurnaan, dan penyesuaian.

Kedua, pola integrasi (integrative design), dengan upaya sistem pendidikan pesantren diintegrasikan secara total ke dalam sistem pendidikan sekolah, atau sebaliknya. Artinya dari kedua sistem tersebut disatukan dan dipadukan secara harmonis dan komprehensif sehingga menjadi satu sistem pendidikan yang benar-benar baru dan unik, tetapi tentu dengan nilai-nilai pesantren sebagai basis ideologi pendidikannya.

Ketiga, pola konvergensi (convergentive design), yaitu dengan cara sistem pendidikan pesantren dikonvergensikan dengan sistem pendidikan sekolah, atau sebaliknya. Kedua sistem ini diarahkan ke satu titik pertemuan dan kemudian dilaksanakan bersama-sama, tanpa menghilangkan unsur dan cirinya masing-masing. Nampaknya pola konvergensi inilah yang banyak dilakukan pesantren pada dekade terakhir ini, antara lain dengan menyelenggarakan pendidikan MI/SD Pesantren, Mts/SMP, MA/SMU/SMK, dan PT, di mana kurikulum dan sistem pendidikannya mengacu pada sistem sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah, kemudian dikonvergensikan dengan nilai-nilai dan tradisi pesantren. Bahkan akhir-akhir ini banyak pula sekolah -bahkan Universitas- yang melaksanakan pola konvergensi ini dengan cara membuka “sekolah dengan sistem asrama” atau boarding school.

Dengan demikian, mengupayakan pola dan sistem pendidikan dengan manajemen berbasis pada nilai-nilai pesantren pada prinsipnya merupakan sebuah usaha dan upaya yang tidak mudah, apalagi harus mencari formulasi yang dapat memuaskan segala pihak yang berkepentingan dengan dunia pendidikan. Tetapi setidaknya, gagasan ini perlu kita fikirkan bersama demi peningkatan mutu pendidikan nasional. Bukankah kita sudah bosan dengan sistem dan manajemen pendidikan nasional yang terus terpuruk?.

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE

MEMBANGUN CORPORATE CULTURE DALAM DUNIA PENDIDIKAN ISLAM Oleh Fathor Rachman Corporate culture (budaya kerja korpora...